Hubungan Panjag bobot ikan teri (stolephorus indicus)
Laporan Laboratorium Biologi
Perikanan
HUBUNGAN PANJANG BOBOT IKAN TERI
(Stolephorus indicus)
Oleh
:
Rizky Yonanda Lubis
160302062
VII/B

LABORATORIUM
BIOLOGI PERIKANAN
PROGRAM
STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
2017
DAFTAR ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR............................................................................. .
i
DAFTAR
ISI............................................................................................... ii
PENDAHULUAN
Latar Belakang.................................................................................... 1
Tujuan Penulisan.................................................................................. 3
Manfaat
Penulisan............................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Perairan
.................................................................................
Morfologi Ikan Teri (Stolephorus
Indicus)..........................................
Hubungan Panjang Bobot Ikan Teri (Stolephorus Indicus).................
Faktor Kondisi
....................................................................................
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Praktikum............................................................. 10
Alat dan Bahan Praktikum.................................................................. 10
Prosedur Praktikum............................................................................. 10
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil..................................................................................................... 11
Pembahasan......................................................................................... 13
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan........................................................................................
16
Saran..................................................................................................
16
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Latar
Belakang
Ilmu Biologi Perikanan merupakan salah satu ilmu yang mendasari
ilmu-ilmu perikanan tangkap lainnya,metode penangkapan ikan, serta ilmu
lainnya.Kajian biologi ikan meliputi sebaran ikan berdasarkan kedalaman
perairan (pelagic, mid water dan demersal), anatomi dan fisiologi
ikan.Diantaranya adalah hubungan panjang dan berat merupakan aspek biologi
perikanan yang perlu di pelajari, kaitannya dengan pola pertumbuhan, nilai
panjang pertama kali matang gonad (Lm), dan pertama kali tertangkap (Lc), serta
komposisi ukuran
(Ernaningsih, 2015).
Ikan adalah hewan berdarah dingin, biasanya dengan
tulang punggung, insang dan sirip dan terutama tergantung pada air sebagai
media dimana untuk hidup. Studi mereka menyusun aspek murni dan terapan dari
ilmu-ilmu pengetahuan yang membahas tentang ikan di suatu perairan baik umum
maupun perairan tawar di dunia. Ikan salah satu hewan-hewan perenang yang sudah
lama menjadi perhatian manusia karena nilai ekonomisnya yang tinggi sebagai
sumber makanan. Hal ini berbeda dengan dua kelompok ikan yakni plankton dan
bentos. Pada kelompok ikan adalah ikan bertulang rawan, ikan bertulang sejati
(keras) dan sebagainya dalam suatu spesies (Burhanuddin, 2010).
Ikan dapat ditemukan di hampir
semua "genangan" air yang berukuran besar baik air tawar, air payau
maupun air asin pada kedalaman bervariasi, dari dekat permukaan air hingga
beberapa ribu meter di bawah permukaan air. Namun, danau yang terlalu asin
seperti Great Salt Lake tidak bisa menghidupi ikan. Ada beberapa spesies ikan
dibudidayakan dan dipelihara untuk hiasan dalam akuarium, kita kenal sebagai
ikan hias. Tubuh ikan dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu kepala, badan dan ekor. Batas kepala adalah dari mulai moncong
sampai bagian belakang tutup insang, batas badan dari mulai belakang tutup
insang sampai dubur, sedangkan batas ekor dari mulai dubur sampai ujung sirip.
Untuk bergerak, ikan mempunyai anggota gerak yang disebut sirip. Pada garis
besarnya, Ikan mempunyai dua macam sirip yaitu sirip berpasangan dan sirip
tunggal. Sirip berpasangan terdiri dari sirip dada dan sepasang sirip perut,
sedangkan sirip tunggal terdiri dari sirip punggung, sirip ekor dan sirip dubur (Ayu, 2013).
Ikan memiliki keanekaragaman bentuk,
ukuran, habitat serta distribusi jenis berdasarkan perbedaan ruang dan waktu
sehingga membutuhkan pengetahuan tentang pengelompokan atau pengklasifikasian
ikan. Pada umumnya bentuk tubuh ikan berkaitan erat dengan habitat dan cara
hidupnya. Secara umum bentuk tubuh ikan adalah simetris bilateral, yang berarti
jika ikan tersebut dibelah pada bagian tengah-tengah tubuhnya (potongan sagittal)
akan terbagi menjadi dua bagian yang sama antara sisi kanan dan sisi kiri.
Selain itu, terdapat beberapa jenis ikan berbentuk non simetris bilateral, yaitu
jika tubuh ikan tersebut dibelah secara melintang (crosssection) maka
terdapat perbedaan antara sisi kanan dan sisi kiri tubuh. Tidak semua jenis
ikan memiliki bentuk tubuh dengan satu kategori, namun terdapat pula jenis ikan
yang memiliki bentuk kombinasi. Misalnya pada anggota Ordo Siluriformes,
terdapat ikan yang memiliki kepala berbentuk picak, bagian badan berbentuk
cerutu, dan bagian ekor berbentuk pipih. Ordo Siluriformes merupakan kelompok
ikan berkumis meliputi beberapa familia dan masing-masing memiliki karakter
morfologi yang spesifik (Bhagawati, 2013).
Ikan
teri yang termasuk dalam kelompok ikan pelagik kecil merupakan sumberdaya yang poorly
behaved karena makanan utamanya plankton sehingga kelimpahannya sangat tergantung
kepada faktor-faktor lingkungan. Apabila lingkungan tempat tumbuh ikan baik
maka produksi ikan teri melimpah begitu pula sebaliknya. Ikan teri mulutnya
lebar sampai melewati belakang mata, tubuhnya ramping, mempunyai panjang
sekitar 7-16 cm, seperti umumnya kelompok ikan pelagis kecil, mempunyai
karakteristik sebagai berikut: 1) Membentuk gerombolan yang terpencar-pencar (patchness).
2) Variasi kelimpahan cukup tinggi yang erat kaitannya dengan kondisi
lingkungan yang berfluktuatif. 3) Selalu
melakukan ruaya baik temporal maupun spasial. 4) Aktivitas gerak yang cukup
tinggi yang ditunjukkan oleh bentuk badan menyerupai cerutu atau torpedo (Ayu,
2013).
Pertumbuhan dapat
didefenisikan sebagai perubahan ukuran panjang, berat
dan volume dalam jangka waktu tertentu. Pertumbuhan ikan
biasanya ditunjukkan
dari penambahan panjang dan berat yang biasanya bertujuan untuk
mengetahui pola pertumbuhan atau tampilan ikan di alam. Pola pertumbuhan dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan sangat bermanfaat dalam penentuan
selektivitas alat tangkap agar
ikan-ikan yang tertangkap hanya yang berukuran layak tangkap. Dalam hubungannya
dengan pertumbuhan, analisa hubungan panjang berat
dimaksudkan untuk mengukur variasi berat harapan untuk panjang tertentu dari
ikan secara individual atau kelompok individu sebagai suatu petunjuk tentang
kegemukan, kesehatan, perkembangan gonad dan sebagainya. Tampilan pertumbuhan
diperoleh berdasarkan nilai b yang merupakan slope regresi antara logaritma
hubungan panjang dan berat (Nofrita, 2013).
Hubungan panjang-bobot
adalah model matematika yang menggambarkan pertumbuhan ikan dan digunakan dalam
pendugaan stok ikan, perhitungan biomassa sebaran frekuensi panjang dan
penilaian karakteristik morfologi populasi ikan. Parameter panjang-bobot (a dan
b) bermanfaat dalam ilmu perikanan khususnya untuk memperkirakan bobot individu
ikan, menghitung faktor kondisi serta membandingkan kondisi lingkungan dan
habitat ikan yang berbeda. Faktor kondisi merupa-kan kondisi fisiologis ikan
yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik
untuk menunjukkan angka kegemukan pada ikan (Ayu, 2013).
Data dan
informasi tentang aspek kuantitatif seperti hubungan panjang bobot penting
dalam studi biologi ikan, antara lain dipakai untuk membandingkan daur hidup,
membandingkan dan menggambarkan karakteristik populasi ikan antar jenis kelamin
dan antar musim, dan mengkaji aspek morfologi populasi ikan yang mendiami
daerah yang berbeda, Faktor kondisi dapat dijadikan sebagai indikator kesehatan
populasi ikan, dan merupakan instrumen yang efisien dalam menunjukkan perubahan
kondisi ikan sepanjang tahun. Nilai
rata-rata faktor kondisi yang tinggi pada periode tertentu dapat
mengindikasikan pada saat itu ikan dalam kondisi kebugaran yang baik. Faktor
kondisi juga dapat menjadi indikator tingkat energi secara individu dan
kualitas secara keseluruhan selama masa reproduksi. Mempelajari faktor kondisi
adalah penting untuk memahami daur hidup spesies ikan dan menjadi kontribusi
yang memadai bagi pengelolaan suatu jenis ikan (Gundo, 2014).
Faktor kondisi dihitung dari persamaan hubungan
antara bobot dengan panjang ikan yang menggambarkan status kondisi individu
ikan. Nilai faktor kondisi ikan dapat berbeda terkait dengan tingkat
ketersediaan sumber makanan, usia, jenis kelamin, dan kematangan gonad.
Penelitian faktor kondisi ikan menjadi
penting sebagai dasar untuk menjaga keberlangsungan populasi ikan dan keseimbangan fungsi ekosistem
perairan (Gustiarisanie dkk., 2016).
Tujuan
Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk
mengetahui kondisi perairan habitat
ikan Teri (Stolephorus spp.)
2. Untuk
mengetahui hubunga T hitung dan T tabel
3. Untuk
mengetahui nilai dari koefisien korelasi (R2)
4. Untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan Teri (Stolephorus
spp.)
5. Untuk mengetahui faktor kondisi ikan Teri (Stolephorus
spp.)
Manfaat
Praktikum
Manfaat
dari praktikum ini adalah sebagai sumber
informasi bagi pembaca dan salah satu syarat untuk mengikuti praktikum di
Laboratorium Biologi Perikanan Fakultas
Pertanian Universitas Sumtera Utara.
TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Perairan
Perairan pantai timur Sumatera Utara
termasuk perairan yang tercemar berat oleh limbah domestik, limbah industri,
limbah pertanian termasuk limbah tambak. Namun demikian, perairan ini masih
tetap daerah penangkapan ikan yang intensif, baik demersal maupun pelagis.
Perairan pantai timur Sumatera (Selat Malaka), merupakan kawasan perairan yang
mengalami tangkap lebih (over fishing) khususnya ikan pelagis. Dalam kondisi demikian,
nelayan lokal semakin banyak mengarahkan upaya pencarian terhadap ikan-ikan
demersal yang bernilai ekonomis
(Sitorus, 2004).
Perairan Belawan merupakan
perairan yang terdapat di Selat Malaka dan memiliki potensi perikanan yang
cukup. Masyarakat Belawan umumnya berprofesi sebagai nelayan. Sebagian besar
hasil tangkapan di kawasan ini adalah ikan teri. Nelayan yang menangkap ikan teri cukup
mendominasi di daerah Belawan. Ikan teri
(Stoleophorus spp.) termasuk ikan pelagis kecil yang banyak di temukan di
perairan Belawan. Ikan teri ini merupakan ikan yang konsumtif bagi masyarakat.
Hasil tangkapan ikan teri ini (Yuanda dkk., 2015).
Perairan Laut Belawan yang
berada di Kecamatan Medan Labuhan Provinsi Sumatera Utara banyak digunakan oleh
masyarakat setempat untuk berbagai aktivitas. Aktivitas masyarakat disekitar
Laut Belawan antara lain pertanian, perikanan, pemukiman dan tempat rekreasi.
Aktivitas lain yang mempengaruhi faktor fisik-kimia perairan yaitu kegiatan
keramba yang menghasilkan limbah organik (pencemaran unsur nitrogen dan fosfor)
akibat pemberian pakan yang tidak efisien. Hal ini menyebabkan sisa pakan dan
kotoran
ikan menumpuk di dasar perairan, sehingga berdampak
terjadinya eutrofikasim yang menyebabkan blooming fitoplankton, adanya
gulma air, terbentuknya gasgas yang dapat menyebabkan kematian organisme
perairan dan makin menebalnya lapisan anaerobik di badan laut (Paramitha,
2014).
Pencemaran air yang diindikasikan dengan
turunnya kualitas air sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak
dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Yang dimaksud dengan tingkat
tertentu tersebut di atas adalah baku mutu air yang ditetapkan dan berfungsi
sebagai tolok ukur untuk menentukan telah terjadinya pencemaran air. Penetapan
baku mutu air selain didasarkan pada peruntukan (designated beneficial water
uses), juga didasarkan pada kondisi nyata kualitas air yang mungkin berada
antara satu daerah dengan daerah lainnya. Pendekatan tradisional penentuan
status mutu air pada perairan tertentu yaitu dengan membandingkan data setiap
parameter kualitas air konvensional seperti parameter fisik, kimia,
bakteriologi, dengan kondisi normatif baku mutu yang digunakan sebagai acuan
atau rujukan pada daerah masing- masing
(Verawati, 2016).
Senyawa nitrogen terlarut
merupakan hasil metabolisme organisme bahari dan hasil pembusukan. Nitrogen
terdapat pula dalam bentuk molekul-molekul protein dalam organisme yang telah
mati kemudian diuraikan menjadi bentukbentuk anorganik oleh serangkaian
organisme pengurai, terutama bakteri pembentuk nitrat. Nitrat yang terbentuk
akan dimanfaatkan oleh tumbuhan. Tumbuhan dan hewan yang mati akan terurai
menjadi asam amino dan sisa bahan organik. Selain melalui proses tersebut
diatas, nitrat yang terlarut di laut juga merupakan hasil suplai dari daratan
melalui sungai (Paramitha, 2014).
Kualitas air
yang diukur selama penelitian adalah suhu dan pH. Suhu sangat berpengaruh
terhadap kehidupan dan pertumbuhan biota air. Secara umum laju pertumbuhan
meningkat sejalan dengan kenaikan suhu, dan apabila peningkatan suhu terjadi
secara drastis maka akan menyebabkan kematian. Secara tidak langsung, suhu
mempengaruhi kelarutan oksigen dalam air. Semakin tinggi suhu air, semakin
rendah daya larut oksigen dalam air, dan sebaliknya. Kisaran suhu pada saat
pemeliharaan adalah 26-29oC. Kisaran suhu tersebut masih dalam kisaran
toleransi hidup ikan gapi. Kisaran toleransi suhu untuk kehidupan ikan gapi
adalah 25,6-33,4oC dan kisaran suhu optimal bagi ikan yang hidup di perairan
tropis berkisar 28-32oC (Priyono, 2013).
Oksigen terlarut DO (dissolved oxygen) merupakan kadar
oksigen yang terlarut di dalam air. Selama penelitian DO berkisar antara 4,12
mg/l sampai 5,77 mg/l. Kadar DO yang baik untuk menunjang kehidupan ikan harus
lebih dari 2 mg/l. Apabila kurang dari 2 mg/l tidak boleh terpapar melebihi
waktu 8 jam dari 24 jam. Kadar DO 0,3 sampai 1 mg/l akan mengakibatkan kematian
pada ikan bila terpapar dalam waktu lama. Nilai pH selama penelitian berada
dalam kisaran 6 -7 masih termasuk dalam kisaran pH 6,5 -9 yang baik untuk
pertumbuhan dan reproduksi ikan. Kandungan pH yang ideal bagi produktivitas
perairan adalah 5,5 -6,5 sedangkan kisaran pH yang baik untuk pemeliharaan ikan
adalah 7 -8,5 (Sarida, 2011).
Morfologi Ikan Teri (Stolephorus spp.)
Ikan teri merupakan ikan yang berada
di daerah perairan pesisir dan eustaria dengan tingkat keasinan 10-15%. Ikan
teri hidup berkelompok yang terdiri dari ratusan sampai ribuan ekor. Ikan teri
berukuran kecil dan besarnya ukuran bervariasi yaitu antara 6-9 cm. Gambaran
morfologi ikan teri yaitu sirip caudal bercagak dan tidak bergabung dengan
sirip anal, duri abdominal hanya terdapat sirip pektoral dan ventral, tidak
berwarna atau agak kemerah-merahan. Bentuk tubuhnya bulat memanjang (fusiform)
atau agak termampat kesamping (compressed), pada sisi samping tubuhnya terdapat
garis putih keperakan memanjang dari kepala sampai ekor. Sisiknya kecil dan
tipis sangat mudah lepas, tulang rahang atas memanjang mencapai celah insang.
Giginya terdapat pada rahang, langit-langit palatin, pterigod, dan lidah
(Aryati dan Dharmayanti, 2014).
Ikan teri umumnya berukuran
kecil dengan panjang sekitar 6-9 cm, namun ada pula yang berukuran relatife
panjang hingga 17,5 cm. Ciri-ciri ikan teri adalah: bentuk tubuhnya memanjang (fusiform)
atau mampat ke samping (compressed), terdapat selempang putih keperakan
memanjang dari kepala sampai ekor, memiliki sisik kecil, tipis dan sangat mudah
lepas, tulang rahang atas memanjang mencapai celah ingsang. Ikan teri termasuk
ikan kecil, paling panjang 12 cm, mulut relatif besar, banyak diolah menjadi
ikan kering atau ikan asin. Badannya berkilauan dan besarnya bervariasi (Regar,
2015).
Ikan teri nasi memiliki
ciri-ciri morfologi yang khas, sehingga dapat dibedakan dari marga-marga
anggota Engraulinae. Ciri-ciri tersebut yaitu, memiliki sirip ekor (caudal)
cagak dan tidak bersambung dengan sirip dubur (anal) serta duri abdominal hanya
terdapat antara sirip pektoral dan ventral yang berjumlah tidak lebih dari 7
buah, umumnya tidak berwarna atau kemerah-merahan. Ikan teri mempunyai bentuk
tubuh bulat memanjang (fusiform) dan termampat samping (compressed)
dengan sisik-sisik berukuran kecil dan tipis serta mudah lepas, bagian samping
tubuhnya terdapat garis putih keperakan seperti selempang yang memanjang dari
kepala sampai ekor. Tulang atas rahang memanjang mencapai celah insang. Sirip dorsal
umumnya tanpa duri pradorsal, sebagian atau seluruhnya terletak di belakang
anus pendek dengan jari-jari lemah sekitar 16-23 buah*(
Hubungan Panjang
Bobot Ikan Teri (Stolephorus spp.)
Hubungan panjang-berat ikan adalah suatu
hal yang penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Hubungan panjang berat
adalah hal yang penting untuk diketahui, karena dengan adanya informasi ini
dapat diketahui pola pertumbuhan ikan, informasi mengenai lingkungan dimana
spesies tersebut hidup, produktivitas, kondisi fisiologis ikan, dan tingkat
kesehatan ikan secara umum. Yang dimaksudkan dengan hubungan panjang berat
adalah variasi berat harapan untuk panjang tertentu dari ikan secara individual
atau kelompok–kelompok individu sebagai suatu petunjuk tentang kegemukan,
kesehatan, perkembangan gonad dan sebagainya. Morfometrik merupakan salah satu
cara untuk mengetahui keanekaragaman suatu spesies dengan melakukan pengujian
terhadap karakter morfologi secara umum. Informasi morfometrik sangat berguna
untuk mengkaji variasi bentuk akibat adanya perbedaan geografis. Selain itu,
informasi morfometrik sering juga digunakan dalam taksonomi dan mendeskripsikan
ikan (Fadhil dkk., 2016).
Hubungan
panjang-bobot (HPB) adalah faktor penting dalam studi biologi ikan dan
pendugaan stok. Persamaan ini membantu dalam menduga bobot ikan dari
panjangnya. Biomassa ikan sering dihitung dari kelimpahan melalui panjang
dengan menggunakan HPB. Hubungan panjang-bobot
dihitung dengan menggunakan hubungan W = a Lb dengan W adalah bobot
ikan (gram), L adalah panjang ikan (mm), a dan b adalah
konstanta. Uji t (p < 0.05) digunakan untuk menguji apakah nilai b = 3 atau tidak. Bila
nilai b = 3 berarti ikan mempunyai pola pertumbuhan isometrik, sebaliknya bila
b ≠ 3 berarti pola pertumbuhan ikan bersifat allometrik (Rahardjo
dkk., 2008).
Hubungan
panjang - bobot ikan sangat penting artinya di dalam ilmu dinamika popula :(I)
memberikan pernyataan secara matematis hubungan antara panjang dengan bobot
ikan, sehingga dapat dikonversikan dari panjang ke bobot atau sebaliknya; (2)
mengukur variasi bobot harapan untuk panjang tertentu dari ikan secara
individual atau kelompok individu sebagai suatu petunjuk tentang kegemukan, dan
(3) untuk mengetahui koefisien kondisi ikan, yang menunjukkan kegemukan
relative (Sumiono dan nuraini, 2007).
Hubungan panjang-bobot dan faktor
kondisi merupakan dua parameter penting dalam biologi perikanan. Hubungan
panjang-bobot adalah model matematika yang menggambarkan pertumbuhan ikan dan
digunakan dalam pendugaan stok ikan, perhitungan biomassa sebaran frekuensi
panjang dan penilaian karakteristik morfologi populasi ikan. Parameter
panjang-bobot (a dan b) bermanfaat dalam ilmu perikanan khususnya untuk
memperkirakan bobot individu ikan, menghitung faktor kondisi serta
membandingkan kondisi lingkungan dan habitat ikan yang berbeda ( Gustiarisanie
dkk., 2016).
Dalam
biologi perikanan, hubungan panjang–berat ikan merupakan salah satu informasi pelengkap yang perlu diketahui dalam
kaitan pengelolaan sumber daya perikanan, misalnya dalam penentuan selektifitas
alat tangkap agar ikan–ikan yang tertangkap hanya yang berukuran layak tangkap.
Pengukuran panjang–berat ikan bertujuan untuk mengetahui variasi berat dan
panjang tertentu dari ikan secara individual atau kelompok–kelompok individu
sebagai suatu petunjuk tentang kegemukan, kesehatan, produktifitas dan kondisi
fisiologis termasuk perkembangan gonad. Analisa hubungan panjang–berat juga
dapat mengestimasi faktor kondisi atau sering disebut dengan index of
plumpness, yang merupakan salah satu hal penting dari pertumbuhan untuk
membandingkan kondisi atau keadaan kesehatan relatif populasi ikan atau
individu tertentu
(Mulfizar dkk., 2012).
Bobot dapat dianggap
sebagai suatu fungsi
dari panjang. Hubungan
panjang dan bobotdapat diketahui dengan rumus W = a Lb Keterangan: W =
Berat L = Panjang a = Intersep (perpotongan kurva hubungan
panjang-berat dengan sumbu y) b = Penduga pola pertumbuhan panjang-berat.
Jika rumus umum tersebut
ditransformasikan ke dalam
logaritma, maka akan didapatkan persamaan linier atau
persamaan garis lurus sebagai berikut :
Log W = log a + b log L. Bila nilai b= 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan
ikan pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan bobotnya (isometrik).
Sedangkan apabila b>3 menunjukkan pertambahan bobot lebih cepat dari
pertambahan panjangnya (allometrik positif), dan jika b<3 menunjukkan
pertambahan panjang lebih cepat dari
pertambahan bobotnya (allometrik negatif) (Yuanda dkk., 2015).
Analisa
hubungan panjang-berat bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan dengan
menggunakan parameter panjang dan berat. Berat dapat dianggap sebagai suatu
fungsi dari panjang. Nilai yang didapat dari perhitungan panjang berat ini
adalah untuk menduga berat dari panjang ikan atau sebaliknya. Selain itu juga
dapat diketahui pola pertumbuhan, kemontokan, dan pengaruh perubahan lingkungan
terhadap pertumbuhan ikan. Jika panjang dan berat diplotkan dalam suatu gambar
maka akan didapatkan persamaan W=aLb. Nilai b yang merupakan
konstanta adalah harga pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan (Rifqie,
2007).
Pola
pertumbuhan pada ikan terdapat dua macam yaitu pertumbuhan isometrik (n=3),
apabila pertambahan panjang dan berat ikan seimbang dan pertumbuhan allometrik
(n>3 atau n<3). n>3 menunjukkan ikan itu gemuk/ montok, dimana
pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjangnya. n<3 menunjukkan
ikan dengan kategori kurus, dimana pertambahan panjangnya lebih cepat dari
pertambahan berat (Nurhayati dkk., 2016).
Untuk mendapatkan parameter
a dan b, digunakan analisis regresi dengan Ln W sebagai Y dan Ln L sebagai X,
maka didapatkan persamaan regresi : Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3
dilakukan uji-t (uji parsial), dengan hipotesis : H0 : b = 3, hubungan panjang
dengan berat adalah isometrik. H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan berat adalah
allometrik, yaitu: Allometrik positif, jika b > 3 (pertambahan berat lebih
cepat dari pada pertambahan panjang) dan, Allometrik negatif, jika b < 3
(Pertambahan panjang lebih cepat dari pada pertambahan berat) (Gurukinayan
dkk., 2015).
Keragaman nilai eksponensial (b)
hubungan panjang dan bobot antar spesies ikandi atas terkait erat dengan perkembangan
ontogenetik; perbedaan umur, kematangan gonad, jenis kelamin, letak geografis,
dan kondisi lingkungan (aktifitas penangkapan); kepenuhan lambung, penyakit,
dan tekanan parasit (Rahardjo dan Simanjuntak, 2008).
Untuk mengkaji dalam penentuan nilai b maka dilakukan uji t, dimana
terdapat usaha untuk melakukan penolakan atau penerimaan hipotesis yang dibuat. T hit = βo – βi / Sβi. Keterangan:
=
Simpangan Baku
= Intercept
(3)
= Slope
(hubungan dari panjang berat)
Sehingga
diperoleh hipotesis:
H0 :
b = 3 (isometrik)
H0 :
b ≠ 3 (allometrik)
Setelah
itu, nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabel sehingga keputusan yang
dapat diambil adalah sebagai berikut: Thitung
> Ttabel, maka tolak H0 , Thitung <Ttabel, maka gagal tolak H0. Apabila
pola pertumbuhan allometrik maka dilanjutkan dengan hipotesis sebagai berikut: Allometrik positif H0 : B≤ 3 (isometrik), H1 :
b>3 (allometrik) Allometrik negatif , H0 : b ≥ 3 (isometrik) ,H1 : b < 3
(allometrik). Keeratan hubungan panjang berat ikan ditunjukkan oleh koefisien
korelasi (r) yang diperoleh dari rumus √ : dimana R adalah keofisien
determinasi. Nilai mendekati 1 (r > 0,7) menggambarkan hubungan yang erat
antara keduanya, dan nilai menjauhi 1 (r < 0,7) menggambarkan hubungan yang
tidak erat antara keduanya
Faktor Kondisi
Faktor kondisi adalah suatu angka yang
menunjukkan kegemukan ikan. Dari sudut pandang nutrisional, faktor kondisi
merupakan akumulasi lemak dan perkembangan gonad. Faktor kondisi secara tidak
langsung menunjukkan kondisi fisiologis ikan yang menerima pengaruh dari faktor
intrinsik (perkembangan gonad dan cadangan lemak) dan faktor ekstrinsik
(ketersediaan sumberdaya makanan dan tekanan lingkungan). Faktor kondisi
memberikan informasi kapan ikan memijah. faktor kondisi berguna dalam mengevaluasi
nilai penting berbagai area tempat pemijahan ikan. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa faktor kondisi memperlihatkan sebagai suatu instrumen yang
efisien dan menunjukkan perubahan kondisi ikan sepanjang tahun. Oleh karena itu
studi tentang faktor kondisi penting bagi pemahaman siklus hidup ikan dan
memberikan kontribusi pada pengelolaan ikan, dan dengan demikian memberikan
kontribusi pada pengelolaan keseimbangan ekosistem. Faktor kondisi ikan di
daerah tercemar lebih rendah dibandingkan daerah yang bebas cemaran pada
kondisi peraiaran (Rahardjo dan
Simanjuntak, 2008)
Faktor kondisi relatif (Kn) dihitung
dengan menggunakan persamaan Kn = W/W*, W adalah bobot tubuh tertimbang (gram)
dan W* adalah bobot tubuh terhitung (gram) dari persamaan HPB. Faktor
kondisi dihitung bulanan dan berdasarkan tingkat kematangan gonad masing-masing
untuk jantan dan betina. Beberapa faktor lain yang diduga menjadi penyebab
terjadinya fluktuasi dan variasi nilai faktor kondisi ikan adalah perbedaan
ukuran atau umur ikan selama musim pemijahan ikan tidak melakukan aktifitas
makan, tetapi menggunakan cadangan lemak dalam tubuhnya untuk suplai energi dan
tekanan parasit. Ikan jantan mempunyai faktor kondisi relatif rata-rata lebih
kecil daripada ikan betina pada tiap TKG
yang sama (Rahman dkk., 2012)
Faktor kondisi ikan teri dievaluasi
dengan menghitung Koefisien Faktor Kondisi (K) dan Faktor kondisi relatif (Kr).
Koefisien faktor kondisi dihitung menggunakan r : Penghitungan faktor kondisi
(K) dilaku-kan untuk menilai kondisi kesehatan ikan pada suatu perairan Faktor
kondisi relatif (Kn) dihitung dengan menggunakan persamaan Kn = W/W*, W adalah
bobot tubuh tertimbang (gram) dan W* adalah bobot tubuh terhitung (gram)
dari persamaan HPB. W = berat
individu ikan (gram) L = panjang standar ikan (mm). Faktor kondisi relatif
dapat digunakan untuk membandingkan kondisi populasi ikan pada sampling yang
berbeda kondisi relati kondisi ikan Komposisi diidentifikasi menggunakan
mikroskop dan dihitung menggunakan metode frekuensi kejadian Fi = Frekuensi Ni
= Jumlah saluran pencernaan ikan yang berisi jenis makanan ke i N = Jumlah
total saluran pencernaan ikan yang. Dianalisis Ikan dianalisis sebanyak 199
ekor pada musim hujan dan 131 ekor pada musim kemarau. Panjang ikan yang
tertangkap berkisar antara 68 berkisar antara 3,6 saluang dapat mencapai ukuran ikan saluang
jantan lebih kecil dibandingkan ikan betina (Sulistiyarto, 2012).
Penghitungan faktor kondisi (K)
dilaku-kan untuk menilai kondisi kesehatan ikan pada suatu perairan Faktor kondisi
relatif (Kn) dihitung dengan menggunakan persamaan Kn = W/W*, W adalah bobot
tubuh tertimbang (gram) dan W* adalah bobot tubuh terhitung (gram)
dari persamaan HPB. Nilai K yang stabil, memperlihatkan bah-wa kondisi perairan
di setiap stasiun tidak berpe-ngaruh terhadap kehidupan ikan. Stabilnya nilai
faktor kondisi ikan zebra di Danau Beratan juga mengindikasikan bahwa di Danau
Beratan terdapat cukup banyak makan-an bagi ikan zebra dan tidak ada atau
kurangnya pesaing dalam hal kompetisi pakan bagi ikan zebra. Faktor kondisi
juga terkait dengan kese-hatan suatu spesies tertentu dan derajat kegemuk-an
yang bergantung pada bobot ikan yang dijadi-kan contoh. Keberadaan ikan
introduksi di suatu per-airan memiliki dampak positif dan negatif, na-mun berdasarkan
pengalaman di beberapa negara diketahui dampaknya cenderung bersifat merugi-kan
atau katastrofik terutama terkait dengan keanekaragaman spesies ikan. Kehadiran
ikan introduksi di perairan umum dikhawatirkan akan mengancam kebera-daan ikan
asli yang ada di perairan tersebut. spe-sies asing dapat tumbuh dan berkembang
di ha-bitat barunya sehingga menjadi spesies peng-ganggu karena dua faktor.
Pertama, tidak ada spesies asli yang menjadi pesaing dalam menda-patkan makanan
atau pun ruang di perairan ter-sebut kalau pun ada spesies asli tersebut akan
ka-lah bersaing. Kedua, tidak ada spesies asli (mu-suh alami) yang menjadi
pemangsa yang dapat menahan laju perkembangan mereka (Hargiyatno dkk., 2013).
Pada pertumbuhan isometrik faktor
kondisi (KTL) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut l05W KTL =--v- Pada pertumbuhan allometrik
faktor kondisi relatif (K.) dihitung dengan menggunakan rumus:
Keterangan:
Kn=-b aL, dimana W = Berat tubuh ikan
(gram), L = Panjang ikan (mm), a dan b = konstanta. Nisbah kelamin diukur
dengan membandingkanjumlah ikanjantan denganjumlah ikan betina yang ditemukan
dalam setiap bulan selama 9 bulan. Untuk melihat kemerataanjenis digunakan uji
'Chi-Kuadrat' Nisbah kelamin dihitung dengan menggunakan rumus: J x=B,
dimana X = Nisbah kelamin, J = Jumlah ikan jantan ( ekor), B = Jumlah ikan betina (ekor) (Hukom dkk., 2006).
Dalam biologi perikanan, hubungan
panjang–berat ikan merupakan salah satu informasi pelengkap yang perlu
diketahui dalam kaitan pengelolaan sumber daya perikanan, misalnya dalam
penentuan selektifitas alat tangkap agar ikan–ikan yang tertangkap hanya yang
berukuran layak tangkap menyebutkan bahwa pengukuran panjang–berat ikan
bertujuan untuk mengetahui variasi berat dan panjang tertentu dari ikan secara
individual atau kelompok–kelompok individu sebagai suatu petunjuk tentang
kegemukan, kesehatan, produktifitas dan kondisi fisiologis termasuk
perkembangan gonad. Analisa hubungan panjang–berat juga dapat mengestimasi
faktor kondisi atau sering disebut dengan index of plumpness, yang
merupakan salah satu hal penting dari pertumbuhan untuk membandingkan kondisi
atau keadaan kesehatan relatif populasi ikan atau individu tertentu. Berat
relatif (Wr) dan koefesien (K) faktor kondisi di gunakan untuk mengevaluasi
faktor kondisi dari setiap individu. Berat relatif (Wr) di tentukan berdasarkan
persamaan Rypel & Richter (2008) sebagai berikut: Wr = (W/Ws) x 100
Wr adalah berat relatif, W berat tiap-tiap ikan, dan Ws adalah berat standar
yang diprediksi dari sampel yang sama karena dihitung dari gabungan regresi
panjang-berat melalui jarak antar spesies : Ws = a Lb Koefesien kondisi
Fulton (K) ditentukan dengan rumus sebagai berikut: K= WL-3 x 100 dimana
K adalah faktor kondisi, W adalah berat ((g), L adalah panjang (mm) dan -3
adalah koefesien panjang untuk memastikan bahwa nilai K cenderung bernilai 1.
Faktor kondisi merupakan akumulasi lemak dan perkembangan gonad. Faktor kondisi
secara tidak langsung menunjukkan kondisi fisiologis ikan yang menerima
pengaruh dari faktor intrinsik (perkembangan gonad dan cadangan lemak) dan
faktor ekstrinsik (ketersediaan sumberdaya makanan dan tekanan lingkungan).
Faktor kondisi memberikan informasi kapan ikan memijah. faktor kondisi berguna
dalam mengevaluasi nilai penting (Mulfizar dkk., 2012).
Ikan jantan maupun betina memiliki
pertumbuhan panjang lebih cepat daripada pertumbuhan berat. Nilai faktor
kondisi rata-rata ikan jantan dan betina hampir sama, yang artinya kegemukan
ikan jantan dan betina dapat dikatakan seimbang. Nilai faktor kondisi pada TKG
II lebih besar daripada TKG I. Pada ikan jantan semakin panjang ikan, faktor kondisinya semakin meningkat.
Nisbah kelamin ikan tajuk adalah tidak seimbang. Tingkat kematangan gonad I baik
ikan jantan maupun betina mendominasi, tidak terdapatnya ikan yang matang gonad
diduga ikan berada di perairan yang lebih dalam. Nilai IKG yang kecil menunjukkan
ikan tajuk yang diperoleh belum memasuki tahap matang gonad (Hukom dkk., 2006).
Berdasarkan pola
pertumbuhannya yang allometrik, maka digunakan rumus faktor kondisi relatif,
baik ikan jantan maupun betina betina. Nilai faktor kondisi relatif ikan jantan
dan betina secara keseluruhan masing-masing berkisar antara 0,88-1,13 dan
0,89-1, 19 dengan rata-rata 1,05 dan 1,02. Peningkatan nilai faktor kondisi
dapat terjadi seiring dengan peningkatan kematangan gonad dan akan mencapai
puncaknya sebelum terjadi pemijahan. Faktor kondisi seringkali berbeda pada
setiap tingkat pertumbuhan (Hukom dkk., 2006).
Nilai faktor kondisi ikan selain
dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad juga dapat dipengaruhi oleh bobot
makanan yang terdapat dalam saluran pencernaan. Selain itu ukuran dan umur ikan
serta kondisi lingkungan dimana ikan itu berada dapat juga mempengaruhi nilai
faktor kondisi ikan. Nilai faktor kondisi (kemontokan ikan) akan bervariasi
untuk setiap spesies ikan. Lagler (1970) menyebutkan bahwa ikan yang memiliki
nilai faktor kondisi 1 –3 menandakan ikan tersebut bentuk tubuhnya kurang pipih
(Pulungan dkk, 2012).
Salah satu
derivat penting dari pertubuhan adalah faktor kondisi atau indeks ponderal atau
sering disebut pula sebagai faktor K. Faktor kondisi menunjukkan keadaan baik
dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi.
Penggunaan nilai faktor kondisi secara komersiil mempunyai arti penting
menentukan kualitas dan kuantitas daging ikan yang tersedia untuk dapat dimakan.
Ikan-ikan yang badannya kurang pipih atau montok memiliki harga K berkisar
antara 1-3. perbedaan nilai faktor kondisi dipengaruhi oleh kepadatan populasi,
tingkat kematangan gonad,makanan, jenis kelamin, dan umur ikan (Wudji dkk,
2012).
Faktor kondisi berkisar antara 3-4
menunjukkan tubuh ikan agak pipih dan bila berkisar 1-2 menunjukkan tubuh ikan
kurang pipih. Berat ikan di anggap ideal jika sama dengan pangkat tiga dari
panjangnya dan itu berlaku untuk ikan kecil dan besar. Bila tidak terdapat
perubahan berat tanpa diikuti oleh perubahan panjang atau sebaliknya, akan
menyebabkan perubahan nilai perbandingan tersebut. Nilai faktor kondisi akan
mengalami perubahan jika terjadi perubahan kondisi perairan dan biologi ikan
(Biring, 2011).
Faktor kondisi relatif (Kn) dihitung dengan
menggunakan persamaan (Le Cren, 1951) Kn= W/W*, W adalah bobot tubuh tertimbang
(gram) dan W* adalah bobot tubuh terhitung (gram) dari persamaan HPB. Faktor
kondisi dihitung bulanan dan berdasarkan tingkat kematangan gonad masing-masing
untuk jantan dan betina. Nilai faktor kondisi meningkat menjelang puncak musim
pemijahan dan menurun setelah masa pemijahan. Beberapa faktor lain yang diduga
menjadi penyebab terjadinya fluktuasi dan variasi nilai faktor kondisi ikan
adalah perbedaan ukuran atau umur ikan; selama musim pemijahan ikan tidak melakukan
aktifitas makan, tetapi menggunakan cadangan lemak dalam tubuhnya untuk suplai
energi; dan tekanan parasit. Faktor kondisi menurun seiring dengan meningkatnya
kematangan gonad sampai pada TKG III; kemudian faktor kondisi meningkat pada
TKG IV dan menurun kembali setelah ikan berpijah (Rahardjo dan Simanjuntak,
2008).
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum ini dilaksanakan pada hari
Rabu tanggal 22 November 2017 Pukul 10.00 sampai dengan selesai di Laboratorium
Terpadu Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Alat dan Bahan Praktikum
Alat yang digunakan pada praktikum ini
adalah milimeter blok untuk mengukur panjang ikan, timbangan analitik digunakan
untuk mengukur berat ikan, nampan digunakan sebagai tempat wadah ikan, kamera
digunakan untuk mendokumentasikan dan alat tulis digunakan untuk mencatat
hasil.
Bahan yang digunakan pada praktikum
ini adalah ikan teri basah merupakan media analisa, tissue, handwash dan kain
lap digunakan sebagai pembersih media dan tangan setelah selesai praktikum
Prosedur Kerja
1.
Buka
tampilan awal dekstop

2.
Buka
aplikasi “Windows Excel”

3.
Klik
icon “Windows” lalu pilih “Excel Options”pada microsoft excel
2007

4.
Kemdian
Klik “Add-ins” lalu pilih “Analisys toolpak” lalu klik “Go”.

5.
Setelah
itu “Centang” dua kotak dari atas, kemudian klik “Ok”

6.
Kemudian
masukan data L dan W pada “Excel” dengan
data yang telah kita analisis

7.
Setelah
selesai mengisi “Data L dan W”
kemudian “Blok” semua nilai L dan W.
Setelah itu klik “Insert” lalu klik “Scatter” lalu pilih grafik yang pertama.

8.
Kemudian
akan muncul grafik seperti ini

9.
Setelah
itu pilih salah satu “Titik pada grafik”,
kemudian klik “Kanan” lalu pilih “Add Trendline”

10.
Setelah
itu pilih grafik “Power” lalu “Centang” kedua kotak yang paling bawah
lalu klik “Close”.

11.
Kemudian
akan muncul grafik seperti ini.

12.
Setelah
itu pada chart tools pilih “Design”
lalu pilih “Chart Layout” yang
pertama lalu klik “Grafik” nya,
setelah itu subtitle di ganti menjadi “Hubungan
Panjang Bobot Ikan Teri (Stolephorus indicus),” lalu Axis title pada sumbu
Y diganti menjadi “Bobot (gr)” pada
sumbu X diganti menjadi “Panjang (cm)”.

13.
Kemudian
hilangkan garis pada grafik dengan mengklik “Salah
satu garis” kemduian tekan tombol “Delete”
pada keyboard.

14.
Setelah
itu “Blok” kembali nilai L dan W
kemudian klik “Data” lalu klik “Data Analyis” lalu pilih “Regression” lalu klik “Ok”.

15.
setelah
itu masukan data y range dengan semua “Data
L” dan masukan data x range dengan semuda “Data W”, kemudian pilih “Output
Range” lalu pilih kolom dimana saja setelah itu klik “Ok”

16.
Setelah
itu akan muncul tampilan seperti ini

17.
Kemudian
tulis “b0=3 (sudah ketetapan)” lalu “b1=1,6678 (dilihat dari data b pada
grafik)” setelah itu “Thitung=55,28821
(didapat dari = -(b0-b1/Standar error X variabel)” lalu “Ttabel=1,984467 (didapat dari =TINV(0,05;
nilai residual)”.

18.
Setelah
itu “Blok” nilai L dan W kembali lalu klik “Copy” setelah itu pindahkan data ke
“Sheet 2” lalu tambahkan di kolom C,D,E tulisan “a,b dan fk”.

19.
Kemudian
tulis angka pada nilai a=0,1151 (didapat pada grafik a), nilai b=1,6678
(didapat pada grafik b) dan nilai Fk (didapat Nilai W/nilai a* nilai L^ nilai
b) kemudian semua ditalik “Blok”

20.
Setelah
selesai buat rumus “Average” dibawah
kolom fk (=Average blok data awal fk
sampai data akhir fk)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
Nilai
konstanta b pada praktikum ini adalah 1,6678 yang menunjukkan bahwa konstanta b
lebih kecil dari 3. Nilai konstanta b ini sangat menentukan pola pertumbuhan
pada ikan. Hal ini sesuai dengan Yuanda dkk (2015) yang menyatakan bahwa untuk
mengetahui pola pertumbuhan ikan dapat ditentukan dari nilai konstanta b
hubungan panjang berat ikan tersebut Sedangkan apabila b>3 menunjukkan pertambahan bobot
lebih cepat dari pertambahan panjangnya
(allometrik positif), dan jika b<3
menunjukkan pertambahan panjang lebih
cepat dari pertambahan bobotnya
(allometrik negatif)
Pola pertumbuhan pada Ikan Teri ini bersifat allometrik
negatif. Ini terbukti dengan nilai b yang lebih kecil dari 3. Pola pertumbuhan
allometrik negatif berarti pertambahan panjang ikan lebih cepat dari
pertambahan bobot tubuhnya. Hal ini sesuai dengan Nugroho (2013) yang
menyatakan bahwa pola pertumbuhan allometrik negatif, artinya nilai b yang
diperoleh lebih kecil dari pada 3 maka ikan tersebut berada dalam kondisi
kurus, dimana pertumbuhan panjang lebih cepat dari pada pertumbuhan beratnya.
Dari data yang diperoleh, nilai eskponensial (b) hubungan
panjang bobot dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang
mempengaruhi nilai b adalah spesies ikan itu sendiri dan juga umur dari ikan.
Hal ini sesuai dengan Rahardjo dkk (2003) yang menyatakan bahwa keragaman nilai
eksponensial (b) hubungan panjang dan bobot antar spesies ikan terkait erat
dengan perkembangan ontogenetik, perbedaan umur, kematangan gonad, jenis
kelamin, letak geografis dan kondisi lingkungan.
Hubungan
panjang bobot koefisien korelasi (R2) pada data didapatkan
nilai R2= 0,1348. Nilai ini
pada Ikan Guppy (Poecilia reticulate)memiliki hubungan antar panjang dan
bobot sangat kuat. Hal ini sesuai dengan
(20) yang menyatakan bahwa apabila nilai
mendekati 1 (r > 0,7) menggambarkan hubungan yang erat antara keduanya, dan
nilai menjauhi 1 (r < 0,7) menggambarkan hubungan yang tidak erat antara
keduanya.
Komentar
Posting Komentar