BIOGRAFI WALI SONGO
Biografi Wali Songo Dan
kehebatanya

“Walisongo”
berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel,
Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan
Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis
bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam
ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana
Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri
adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel.
Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan
sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan
Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain,
kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka
tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di
tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria
di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual
yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai
bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan
dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren
Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa
itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara.
Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin
pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni
yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah
pendamping sejati kaum jelata.
Era
Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara
untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam
di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan.
Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa,
juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara
langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing
tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari
Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu
Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur”
hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa
yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.
1.
Sunan
Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Agama
Islam menyebar di bumi nusantara dikabarkan dilakukan oleh para ulama yang
kemudian dianugrahi gelar Wali Songo. Dan Sunan Gresik atau Maulana Malik
Ibrahim adalah sosok ulama pertama yang diberi gelar sebagai Wali Songo. Sunan
Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang
Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah
Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.
Tidak
terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik
Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli.
Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan
asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.
Babad
Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim
as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim
Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand,
Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.
Dalam
keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan
kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal,
“Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari
Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap
bersama para Mahomedans lainnya di Desa Leran di Jang’gala”.
Namun
demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P.
Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan,
Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat
di Iran sekarang.
Terdapat
beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya
dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin
Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi,
Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal,
Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib
Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat)
Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana
Malik Ibrahim.
Maulana Malik
Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand,
Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma
menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap
As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai
Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara
dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari
Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama
Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana
Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi
Muhammad saw.
Maulana Malik Ibrahim
pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun
1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah
Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden
Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M
Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai
beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah
yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang,
adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama
yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung.
Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara
khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara
gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja
yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga
mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta
yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari
tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi
dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama
di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di
kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
ZPenyebaran AgamaZ
Maulana
Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan
agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior diantara para Walisongo
lainnya.
Beberapa
versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang
ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran,
Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kotaGresik. Ia lalu
mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan
mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Pertama-tama yang dilakukannya ialah
mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa
diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara
tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya
memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat
keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.
Sebagaimana
yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana
Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang
sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.
Perdagangan
membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan
para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut
sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal. Setelah cukup mapan
di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota
Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi
menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di
pinggiran kotaGresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama
desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran;
mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota
Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.
Demikianlah,
dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan
ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang
merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat
ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan
agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat
setempat ramai berkunjung untuk berziarah.
Ritual
ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sesuai
tanggal wafat pada prasasi makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman
Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan
khas bubur harisah.
ZLegenda RakyatZ
Menurut
legenda rakyat, dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia.
Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari
Maulana Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan menjadi
ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan
Giri. Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa.
Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana
Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Maulana Ishak
mengislamkan Samudera Pasai.
Maulana Malik Ibrahim disebutkan
bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin)
selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua putra;
yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri.
Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa
dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya
menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Maulana
Malik Ibrahim dalam cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek
Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat
bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar
yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain
itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib,
diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal
dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
ZWafatZ
Setelah
selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419
Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan,
Gresik, Jawa Timur. Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama
Jalan Malik Ibrahim.
2.
Sunan
Ampel
Sunan
Ampel merupakan salah seorang anggota Walisanga yang sangat besar jasanya dalam
perkembangan Islam di Pulau Jawa. Sunan Ampel adalah bapak para wali.Dari
tangannya lahir para pendakwah Islam kelas satu di bumi tanah jawa. Nama asli
Sunan Ampel adalah Raden Rahmat. Sedangkan sebutan sunan merupakan gelar
kewaliannya, dan nama Ampel atau Ampel Denta itu dinisbatkan kepada tempat
tinggalnya, sebuah tempat dekat Surabaya.
Ia
dilahirkan tahun 1401 Masehi di Champa.Para ahli kesulitan untuk menentukan
Champa disini, sebab belum ada pernyataan tertulis maupun prasasti yang
menunjukkan Champa di Malaka atau kerajaan Jawa. Saifuddin Zuhri (1979)
berkeyakinan bahwa Champa adalah sebutan lain dari Jeumpa dalam bahasa Aceh,
oleh karena itu Champa berada dalam wilayah kerejaan Aceh. Hamka (1981)
berpendapat sama, kalau benar bahwa Champa itu bukan yang di Annam Indo Cina,
sesuai Enscyclopaedia Van Nederlandsch Indie, tetapi di Aceh.
Ayah
Sunan Ampel atau Raden Rahmat bernama Maulana Malik Ibrahim atau Maulana
Maghribi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gresik. Ibunya bernama
Dewi Chandrawulan, saudara kandung Putri Dwarawati Murdiningrum, ibu Raden
Fatah, istri raja Majapahit Prabu Brawijaya V. Istri Sunan Ampel ada dua yaitu:
Dewi Karimah dan Dewi Chandrawati. Dengan istri pertamanya, Dewi Karimah,
dikaruniai dua orang anak yaitu: Dewi Murtasih yang menjadi istri Raden Fatah
(sultan pertama kerajaan Islam Demak Bintoro) dan Dewi Murtasimah yang menjadi
permaisuri Raden Paku atau Sunan Giri.
Dengan
Istri keduanya, Dewi Chandrawati, Sunan Ampel memperoleh lima orang anak,
yaitu: Siti Syare’at, Siti Mutmainah, Siti Sofiah, Raden Maulana Makdum,
Ibrahim atau Sunan Bonang, serta Syarifuddin atau Raden Kosim yang kemudian
dikenal dengan sebutan Sunan Drajat atau kadang-kadang disebut Sunan
Sedayu.
Sunan
Ampel dikenal sebagai orang yang berilmu tinggi dan alim, sangat terpelajar dan
mendapat pendidikan yang mendalam tentang agama Islam. Sunan Ampel juga dikenal
mempunyai akhlak yang mulia, suka menolong dan mempunyai keprihatinan sosial
yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial.
Ia putera tertua
Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di
masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401
Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama
bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian
dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang)
Beberapa versi
menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama
Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu
di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah
Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari
Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit
beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah
dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai
beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan
Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan
kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan
Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra
dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang
dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren.
Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15,
pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah
Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan
Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke
berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut
fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran
sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang
mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh
madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak
mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan
wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel,
Surabaya.
3.
Sunan
Giri
Sunan
Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton,
yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun
1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu
Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden ‘Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan
di desa Giri, Kebomas, Gresik.
Ia memiliki nama
kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan
(kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah
nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga
ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku
kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah
Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil
meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah
ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil
menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah
juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup
ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik.
Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak
hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga
sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir
Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk
mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu
pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan
Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh
menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah
melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat
dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak.
Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai
mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan
hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai
tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren
Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti
Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam
ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan
Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang
luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih.
Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan,
Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian
pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran
Islam.
ZSilsilahZ
Beberapa
babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian
babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang
datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi
Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada
masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat
lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah
SAW; yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad
al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi,
Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi
ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul
Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin
Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan ‘Ainul
Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat
pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Saadah Ba Alawi Hadramaut.
ZKisahZ
Sunan
Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari
Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah
Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah
membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Dipaksa untuk
membuang anaknya, Dewi Sekardadu menghanyutkannya ke laut.
Kemudian,
bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke
Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal,
Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko
Samudra.
Ketika
sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk
belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan
Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian,
Sunan Ampel mengirimnya dan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami
ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah
ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku,
mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.
ZDakwah dan kesenianZ
Setelah
tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden
‘Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di
sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti
gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri
Pesantren
Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam
di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan,Sulawesi, dan
Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang
disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa
generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat
beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan
Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan,
Lir-ilir dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa)
seperti Asmaradana dan Pucung.
4.
Sunan
Bonang
Ia
anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya
adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan
bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang
belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia
berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia
berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu.
Di sanaia mendirikan Masjid Sangkal Daha.
Ia
kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15
kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat
pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar.
Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan
bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah
menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit.
Ia
acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau
Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di
Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh
masyarakat Bawean dan Tuban.
Tak
seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran
ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih,
usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan
Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran
Sunan Bonang berintikan pada filsafat ‘cinta’(‘isyq). Sangat mirip dengan
kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman,
pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al
yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian
yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid
utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan
Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah
satunya adalah “Suluk Wijil” yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu
Sa’id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin,
bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi,
Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.
Sunan
Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu,
dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti
sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki
nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam
malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam
pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya.
Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam.
Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan
antara nafi (peniadaan) dan ‘isbah (peneguhan).
Ia anak Sunan
Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden
Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi
Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban
Sunan Kudus banyak
berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di
Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun
meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara
penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan
mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk
teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus
mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan
Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang
dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud
kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia
memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu,
ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman
masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi
setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang
berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus,
masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga
menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri,
sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan
yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah.
Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah
seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah
menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di
bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya
Penangsang.
5.
Sunan
Drajat
Semasa
muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain
yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang
Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran
Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat. Dia adalah putra Sunan Ampel
dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra
Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan
Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang
disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah
yang mengungkapkan jejaknya.
Ada diceritakan,
Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di
Ampeldenta, Surabaya.
Setelah
dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat
Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak
berkembang menjadi legenda. Syahdan, berlayarlah Raden Qasim
dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan,
perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah
barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu.
Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan
cakalang.
Dengan
menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang
kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa
ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Disana, Raden Qasim disambut baik oleh
tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.

Konon,
kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga
terdampar di sanabeberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap
di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden
Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji
ratusan penduduk.
Jelak,
yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi
kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga
tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke
tempat yang lebih tinggi dan bebas daripada banjir pada musim
hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun,
Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih
menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas
diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan
baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal
penduduk sebagai daerah angker.
Menurut
sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu.
Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun,
berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan
rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru,
seluas sekitar sembilan hektar.
Atas
petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan
selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan
mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang
menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.
Sunan
menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat
itu kini dibangun sebuah muzium tempat menyimpan barang-barang peninggalan
Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya.
Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan
dikeramatkan.
Sunan
Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para
pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun
perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana catur mungkur,” demikian petuahnya.
Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain,
apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan
memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak,
tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuhlima cara.
Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui
penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah
dalam menyelesaikan suatu masalah.
Cara
keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat
tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran
agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
Empat
pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta;
paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung
kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada
yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung
kepada yang kehujanan.
Sunan
Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari
perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari
gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan
hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir,
mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.
”Berhentilah
bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni
warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa.
Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya.
Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia
merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.
Ketika
itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan
kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air
bening –yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat
disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika
menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati
Kediri, Raden Suryadilaga.
Peristiwa
itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama
Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum
sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada
Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di
kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ‘’saling
memuridkan”. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah,
Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran
Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh
Syarifuddin.
Bekas
padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan
cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi.
Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur
Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari
pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.
Anak
tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi,
dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa
Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat
putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak
jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum.
Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ”Duk samana anglaksanani,
mangkat sakulawarga….” Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon
berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu
nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno
untuk menjawabnya.
Beliau
wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa
Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun Museum yang
menyimpan beberapa peninggalan di jaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan
beliau di bidang kesenian.
Nama kecilnya Raden
Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang.
Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun
1470 M.
Sunan Drajat mendapat
tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui
laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan
sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan
dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat,
Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran
tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak
banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya
mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk.
Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah
tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang
telanjang’.
Sunan Drajat juga
dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya,
ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
6.
Sunan
Kalijaga
Dialah
“wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar
tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari
tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan
telah menganut Islam.
Nama
kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama
panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden
Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat
Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon.
Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat
dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini
untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang
menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk
statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Masa
hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan
demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478),
Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang
yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan
Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon
dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu
dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam
dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan
Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi
panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai
sarana untuk berdakwah.
Ia
sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh
jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap:
mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah
dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka
ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia
menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana
dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang
Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa
Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan
Kalijaga.
Metode
dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam
melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen,
Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan
di Kadilangu -selatan Demak.
Dialah “wali”
yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450
Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh
pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah
menganut Islam
Nama kecil Sunan
Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti
Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam
versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon
berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan
Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan
Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk
berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut
istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya
sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan
Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak,
Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546
serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia
ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.
Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid
adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia
punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang.
Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik
(pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk
berdakwah.
Ia sangat toleran
pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang
pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil
mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan
sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan
Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir,
wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta
Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang
Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua
beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah
tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui
Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen,
Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan
di Kadilangu -selatan Demak.
7.
Sunan
Muria
Ia
putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak,
dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil
dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke
utara kota Kudus.
Gaya
berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda
dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan
jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan
rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang
dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan
Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di
Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan
berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu
dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru.
Sunan
Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah
satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
Ia putra Dewi Saroh
–adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan
Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat
tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus
Gaya berdakwahnya
banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah,
Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat
kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil
mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut
adalah kesukaannya.
Sunan Muria
seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan
Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai
masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat
diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara,
Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat
seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
8.
Sunan
Kudus
Nama
kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik
Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah
salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di
Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.
Sunan
Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai
daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara
berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya
setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang
kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk
teguh-menunjuknya.
Cara
Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol
Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara,
gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha.
Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu
waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya.
Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di
halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati.
Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentangsurat Al
Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat
tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan
Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara
berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah
pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan
Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan
hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia
juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat
Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang,
Arya Penangsang.
Nama kecilnya Jaffar
Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak
Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra
Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun
diangkat menjadi Panglima Perang
Sunan Kudus banyak
berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di
Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun
meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara
penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan
mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk
teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus
mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan
Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang
dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud
kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia
memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu,
ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman
masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi
setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang
berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus,
masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga
menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri,
sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan
yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah.
Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah
seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah
menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di
bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya
Penangsang.
9.
Sunan
Gunung Jati
Banyak
kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya
adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj,
lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi
Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua
itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun
1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah
Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar
Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestin.
Syarif
Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir.
Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro
Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan
Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan
demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin
pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja
Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman
Pasundan atau Priangan.
Dalam
berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga
mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang
menghubungkan antar wilayah.
Bersama
puteranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke
Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah
Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Banyak kisah tak
masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia
pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu
Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad
Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat
masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri
dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif
Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah
mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat
berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan
atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga
dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian,
Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan.
Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk
menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia
menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat
dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar
wilayah.
Bersama putranya,
Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten.
Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten
tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun,
Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan
itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung
Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di
daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon
dari arah barat.
Komentar
Posting Komentar