Demokriasi menurut islam


DEMOKRASI MENURUT ISLAM

Oleh : Rizky Yonanda Lubis
Rasulullah saw bersabda: 
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ القُرُونِ قَبْلَهَا، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ»، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَفَارِسَ وَالرُّومِ؟ فَقَالَ: وَمَنِ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ
“Hari kiamat tak bakalan terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, seperti Persia dan Romawi?” Nabi menjawab: “Manusia mana lagi selain mereka itu?”(HR. Bukhory no. 7319 dari Abu Hurairah r.a)
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya, Fathul Bariy (13/301), menerangkan bahwa hadist ini berkaitan dengan tergelincirnya umat Islam mengikuti umat lain dalam masalah pemerintahan dan pengaturan urusan rakyat.
Sekarang dapat kita rasakan kebenaran sabda Beliau saw, dalam pemerintahan dan pengaturan urusan rakyat, sistem demokrasi dianggap sebagai sistem terbaik, bahkan tidak jarang hukum Islam pun dinilai dengan sudut pandang demokrasi, kalau hukum Islam tersebut dianggap tidak sesuai dg demokrasi maka tidak segan-segan dibuang atau diabaikan.
Secara ringkas, tulisan ini akan mengkritisi demokrasi, baik dalam tataran konsep maupun praktiknya dalam sistem pemerintahan.
Pengertian Demokrasi
Dalam teori, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Lincoln (1863) menyatakan “Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”[1]Secara teori, dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang dianggap berdaulat, rakyat yang membuat hukum dan orang yang dipilih rakyat haruslah melaksanakan apa yang telah ditetapkan rakyat tersebut.
Selain itu, demokrasi juga menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh dalam hal :
a. Kebebasan beragama
b. Kebebasan berpendapat
c. Kebebasan kepemilikan
d. Kebebasan bertingkah laku
Inilah fakta demokrasi yang saat ini dianut dan digunakan oleh hampir semua negara yang ada di dunia. Tentu saja dalam implementasinya akan mengalami variasi-variasi tertentu yang dilatar belakangi oleh kebiasaan, adat istiadat serta agama yang dominan di suatu negara. Namun demikian variasi yang ada hanyalah terjadi pada bagian cabang bukan pada prinsip tersebut.
Asal Usul Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) “kekuasaan rakyat”, yang dibentuk dari kata δμος (dêmos) “rakyat” dan κράτος (Kratos) “kekuasaan”, merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.
Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa negara kota yang independen. Di setiap negara kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan konsensus atau mufakat.
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1.500 negara kota (poleis) yang kecil dan independen. Negara kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi. Diantaranya terdapat Athena, negara kota yang mencoba sebuah model pemerintahan yang baru masa itu yaitu demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitus yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena. Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari sekitar 150.000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.[2]
Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur, demokrasi mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad Pertengahan, yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir pengaruh dan peran agama dalam kehidupan manusia. Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja terhadap masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti agama, dalam arti idenya tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah berdemokrasi. Orang beragama tertentu bisa saja berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil menjadi aturan main dalam berdemokrasi. Secara implisit, beliau mencoba mengingatkan mereka yang menerima demokrasi secara buta, tanpa menilik latar belakang dan situasi sejarah yang melingkupi kelahirannya.
Demokrasi Bertentangan Dengan Islam
Dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, konsekuensinya bahwa hak legislasi (penetapan hukum) berada di tangan rakyat (yang dilakukan oleh lembaga perwakilannya, seperti DPR). Sementara dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syara’, bukan di tangan rakyat. Ketika syara’ telah mengharamkan sesuatu, maka sesuatu itu tetap haram walaupun seluruh rakyat sepakat membolehkannya.
Disisi lain, kalau diyakini bahwa hukum kesepakatan manusia adalah lebih baik daripada hukum Allah, maka hal ini bisa menjatuhkan kepada kekufuran dan kemusyrikan. Ketika Rasulullah saw membacakan:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (QS. At Taubah : 31)
Ady bin Hatimr.a berkata:
يارسول الله انهم لم يكونوا يعبدونهم
Wahai Rasulullah mereka (org nashrany) tidaklah menyembah mereka (rahib).
Maka Rasul menjawab: 
اجل ولكن يحلون لهم ما حرم الله فيستحلونه ويحرمون عليهم ما احل الله فيحرمونه فتلك عبادتهم لهم
Benar, akan tetapi mereka (rahib dan org alimnya) menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah maka mereka (org nashrany) menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah maka mereka (nashrany) mengharamkannya pula, itulah penyembahan mereka (nashrany) kepada mereka (rahib dan org alimnya) [HR. Al Baihaqi, juga diriwayatkan oleh at Tirmidzi dengan sanad Hasan]
Berkenaan dengan kebebasan beragama, Islam memang melarang memaksa manusia untuk masuk agama tertentu. Namun demikian Islam mengharamkan seorang muslim untuk meninggalkan aqidah Islam. Rasulullah bersabda:
“Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam) maka bunuhlah dia”.(HR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ashabus Sunan).
Adapun kebebasan berpendapat, Islam memandang bahwa pendapat seseorang haruslah terikat dengan apa yang ditetapkan oleh syariat Islam. Artinya seseorang tidak boleh melakukan suatu perbuatan atau menyatakan suatu pendapat kecuali perbuatan atau pendapat tersebut dibenarkan oleh dalil-dalil syara’ yang membolehkan hal tersebut. Islam mengharuskan kaum muslimin untuk menyatakan kebenaran dimana saja dan kapan saja. Rasulullah saw bersabda :
“…Dan kami(hanya senantiasa) menyatakan al-haq (kebenaran) dimana kami berada, kami tidak khawatir (gentar) terhadap cacian tukang pencela dalam melaksanakan ketentuan Allah”. (HR Muslim dari Ubadah bin Shamit).
Berkaitan dengan kepemilikan, Islam melarang individu menguasai barang hak milik umum, seperti sungai, barang tambang yang depositnya besar, dll, juga melarang cara mendapatkan/mengembangkan harta yang tidak dibenarkan syara’ seperti riba, judi, menjual barang haram, menjual kehormatan, dll.
Adapun kebebasan dalam bertingkah laku, Islam menentang keras perzinaan, homoseksual-lesbianisme, perjudian, khamr dan sebagainya serta menyediakan sistem sanksi yang sangat keras untuk setiap perbuatan tersebut. Sementara demokrasi membolehkan hal tersebut, apalagi kalau didukung suara mayoritas. sehingga tidak aneh kalau dalam sistem demokrasi, homoseksual yang jelas diharamkan Islampun tetap dibolehkan asalkan pelakunya sudah dewasa (diatas 18 tahun) dan dilakukan suka-sama suka[3]. Begitu juga perzinaan asal dilakukan orang dewasa yang suka-sama suka dan tidak terikat tali perkawinan maka tidaklah dipermasalahkan[4].
Demokrasi = Syuro (Musyawarah)?
Sebagian kalangan menyatakan bahwa Demokrasi itu sesungguhnya berasal dari Islam, yakni sama dengan syuro (musyawarah), amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa. Hal ini tidaklah tepat karena syuro, amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa merupakan hukum syara’ yang telah Allah swt tetapkan cara dan standarnya, yang jauh berbeda dengan demokrasi.
Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinciannya adalah sebagai berikut :
(1) Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah, dimana Rasulullah saw membuat keputusan yang tidak disepakati oleh mayoritas shahabat, dan ketika Umar r.a protes, beliau saw menyatakan:
إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهُوَ نَاصِرِي
“Aku ini utusan Allah, dan aku takkan melanggar perintahNya, dan Dia adalah penolongku.” (HR Bukhari)
(2) Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.
(3) Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya.
Demokrasi: Cacat Sejak Lahir
Demokrasi sejatinya sistem yang cacat sejak kelahirannya. Bahkan sistem ini juga dicaci-maki di negeri asalnya, Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai Mobocracy atau the rule of the mob. Ia menggambarkan demokrasi sebagai sebuah sistem yang bobrok, karena sebagai pemerintahan yang dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkisme.
Plato (472-347 SM) mengatakan bahwa liberalisasi adalah akar demokrasi, sekaligus biang petaka mengapa negara demokrasi akan gagal selama-lamanya. Plato dalam bukunya, The Republic, mengatakan, “.…they are free men; the city is full of freedom and liberty of speech, and men in it may do what they like”. (…mereka adalah orang-orang yang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang didalamnya boleh melakukan apa yang disukainya). Orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan yang tidak terbatas. Akibatnya bencana bagi negara dan warganya. Setiap orang ingin mengatur diri sendiri dan berbuat sesuka hatinya sehingga timbullah bencana disebabkan berbagai tindakan kekerasan(violence), ketidaktertiban atau kekacauan (anarchy), tidak bermoral (licentiousness) dan ketidaksopanan (immodesty).
Menurut Plato, pada masa itu citra negara benar-benar telah rusak. Ia menyaksikan betapa negara menjadi rusak dan buruk akibat penguasa yang korup. Karena demokrasi terlalu mendewa-dewakan (kebebasan) individu yang berlebihan sehingga membawa bencana bagi negara, yakni anarki (kebrutalan) yang memunculkan tirani.
Kala itu, banyak orang melakuan hal yang tidak senonoh. Anak-anak kehilangan rasa hormat terhadap orang tua, murid merendahkan guru, dan hancurnya moralitas. Karena itu, pada perkembangan Yunani, intrik para raja dan rakyat banyak sekali terjadi. Hak-hak rakyat tercampakkan, korupsi merajalela, dan demokrasi tidak mampu memberikan keamanan bagi rakyatnya. Hingga pemikir liberal dari Perancis Benjamin Constan (1767-1830) berkata:”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”
Demokrasi Ketuhanan
Karena menganggap demokrasi sebagai konsep yang bagus walaupun ada kekurangannya, sebagian kalangan ada yang berupaya mengambil ide demokrasi namun membuang apa yang menurut mereka jelek. Sehingga mereka katakan, “kita memakai demokrasi namun yang berdaulat tetaplah syara’” yakni mereka bermaksud berdemokrasi namun hukum syara’ tidak akan ditolak. Ungkapan seperti ini sebenarnya hanyalah permainan kata-kata dan definisi saja, seperti orang mau memesan sate ayam namun mereka syaratkan sate ayamnya tidak menggunakan daging ayam. Dan terhadap hal seperti ini hendaknya kita berhati-hati menjaga lidah. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa`ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. (QS Al Baqarah 104)
“Raa `ina” berarti “sudilah kiranya kamu memperhatikan kami”. Di kala para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudipun memakai pula kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut ”Raa `ina”, padahal yang mereka katakan ialah”Ru`uunah” yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar perkataan ”Raa `ina” dengan ”Unzhurna’‘ yang juga sama artinya dengan ”Raa `ina”. Kalau masalah pilihan kata saja Allah memperhatikan, padahal dua kata tersebut kurang lebih artinya sama, lalu baggaimana pula dengan kata yang memang memiliki pemahaman yang khas seperti demokrasi ini? Tentunya harus lebih hati-hati lagi.
Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah)
Berbeda dengan demokrasi, Islam menggariskan bahwa sistem pemerintahan yang seharusnya dipakai umat Islam tegak diatas 4 pilar pokok yakni: [5]
Pertama, kedaulatan di tangan syara’. Tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa kedaulatan di tangan syara’, yakni hanya Allah SWT saja yang berhak menetapkan hukum bagi manusia, kalaupun semua manusia sepakat menghalalkan yang diharamkan Allah maka kesepakatan mereka tidak berlaku.
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (QS Al An’am : 57)
Ketika terjadi perselisihan, maka keputusan hukumnya juga wajib menggunakan ketentuan syara’. Allah berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.(QS. An Nisaa’: 59)
Kedua, kekuasaan[6] di tangan umat, yakni umatlah yang berhak memilih pemimpin yang dikehendakinya untuk menjalankan kekuasaan. Hal ini dapat dipahami dari hadis-hadis tentang bai’at, bahwa seseorang tak menjadi kepala negara, kecuali dibai’at (diangkat) oleh umat.
Ketiga, mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin. Ibnu Katsir dalam tafsirnya (1/222, Maktabah Syamilah) menyatakan:
فَأَمَّا نَصْبُ إِمَامَيْنِ فِي الْأَرْضِ أَوْ أَكْثَرَ فَلَا يَجُوزُ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: “مَنْ جَاءَكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ يُرِيدُ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَكُمْ فَاقْتُلُوهُ كَائِنًا مَنْ كَانَ” . وَهَذَا قَوْلُ الْجُمْهُورِ، وَقَدْ حَكَى الْإِجْمَاعَ عَلَى ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ، مِنْهُمْ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ
“Adapun pengangkatan dua imam atau lebih di bumi maka hal itu tidak boleh berdasarkan sabda Beliau saw: “barang siapa datang kepada kalian sementara urusan kalian bersatu, (orang itu) hendak memecah kalian maka bunuhlah dia siapapun orangnya“(HR. Muslim) Dan ini merupakan pendapat jumhur, tidak hanya seorang yang telah menceritakan adanya ijma’ dalam hal ini, di antara mereka adalah Imamul Haramain.”
Keempat, hanya kepala negara saja yang berhak melegislasikan hukum-hukum syara’.
Hal ini didasarkan pada Ijma’ Shahabat yang melahirkan kaidah syar’iyah yang termasyhur,
حكم الحاكم يرفع الخلاف
Ketetapan penguasa menghilangkan perbedaan pendapat. Juga kaidah syar’iyah lain yang tak kalah masyhur,”Lil Imam an yuhditsa minal aqdhiyati bi qadri mâ yahdutsu min musykilât.” (Imam (kepala negara) berhak menetapkan keputusan baru sejalan dengan persoalan-persoalan baru yang terjadi)











Demokrasi merupakan system yang bertentangan dengan Islam. Karena system ini meletakkan rakyat sebagai sumber hukum atau orang-orang yang mewakilinya (seperti anggota parlemen). Maka dengan demikian landasan hukumnya tidak merujuk kepada Allah Ta’ala, tapi kepada rakyat dan para wakilnya. Patokannya tidak harus kesepakatan semua mereka, tapi suara terbanyak. Kesepakatan mayoritas akan menjadi UU yang wajib dipegang masyarakat walaupun bertentangan dengan fitrah, agama dan akal. Dengan system ini, dikeluarkan aturan bolehnya aborsi, perkawinan sesame jenis, bunga bank, digugurkannya hukum-hukum syariat, dibolehkannya zina dan khamar. Bahkan dengan system ini, Islam dan para penganutnya yang taat diperangi.
Allah Ta’ala telah mengabarkan dalam KitabNya, bahwa penetap hukum hanyalah Dia semata, Dialah sebaik-baik yang menetapkan hukum. Dilarang menyekutukannya dalam menetapkan hukum dan Dia mengabarkan bahwa tidak ada seorang pun yang lebih baik hukumnya dariNya.
Allah Ta’ala berfirman,
فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِير (سورة غافر: 12) 
“Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.” SQ. Ghofir: 12.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (سورة يوسف: 40)
“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." SQ. Yusuf: 40.
Allah Ta’ala berfirman,
“Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?.” SQ. At-Tin : 8.
قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ مَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَداً   (سورة الكهف: 26)
“Katakanlah: "Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan Alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindungpun bagi mereka selain dari pada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan". SQ. Al-Kahfi: 26
 أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْماً لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (سورة  المائدة: 50)
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?.” SQ. Al-Maidah: 50.
Allah Azza wa Jallah merupakan Sang Pencipta makhluk, Dia mengetahui apa yang terbaik bagi mereka dan hukum apa yang layak untuk mereka. Sementara manusia beragam akal, akhlak dan kebiasaannya. Mereka tidak mengetahui apa yang baik buat mereka apalagi mengetahui apa yang terbaik untuk selain mereka. Karena itu, masyarakat yang menjadikan rakyat sebagai pedoman hukum dan UUnya tidak ada yang dihasilkannya kecuali kerusakan, runtuhnya moral dan rusaknya kehidupan sosial. 
Catatan, bahwa system ini di banyak Negara hanya sekedar dekorasi saja, tidak ada kenyataannya. Hanya sekedar slogan yang menipu rakyat. Penguasa yang sesungguhnya adalah kepala Negara atau musuh-musuhnya. Sedangkan rakyat tidak memiliki wewenang.
Tidak ada yang paling menunjukkan kesimpulan tersebut bahwa demokrasi yang disebut-sebut itu hanyalah yang sesuai dengan kemauan penguasa, jika tidak sesuai, maka akan dianjak-injak kaki mereka. Kenyataan pemalsuan pemilu, dibungkamnya kebebasan orang-orang yang hendak menyuarakan kebenaran adalah kenyataan yang diketahui semua pihak, tidak butuh lagi dalil.
Tidak berguna bagi otak, jika seseorang masih membutuhkan dalil adanya siang.
Disebutkan dalam Mausu’ah Adyan Mu’ashirah, 2/1066 
Demokrasi Parlemen
Salah satu penampilan system demokrasi yang dilakukan rakyat adalah pelimpahan kewenangan kepada anggota majelis terpilih sebagai wakil rakyat. Namun, dalam sistem ini rakyat masih dapat langsung berpartisipasi dalam beberapa praktek berbeda, yang utama adalah:
1.      Hak suara rakyat, yaitu dengan cara sejumlah anggota masyarakat membuat draft UU, baik global atau terperinci, kemudian dibahas oleh parlemen dan dilakukan voting.
2.      Hak referendum. Yaitu sebuah UU setelah disetujui parlemen diajukan kepada rakyat agar mereka memberikan suaranya.
3.      Hak penolakan. Yaitu hak sejumlah anggota dewan yang ditetapkan UU untuk menolak rencana UU dalam masa tertentu setelah disahkan. Di antara konsekwensinya adalah diajukan referendum, apabila rakyat setuju, maka dilaksanakan, jika tidak maka dibatalkan.
Cara inilah yang umumnya dilakukan terhadap UU masa kini.
Tidak diragukan lagi bahwa system demokrasi merupakan salah satu bentuk kesyirikan modern dalam hal ketaatan dan ketundukan dalam menetapkan UU, karena dengan demikian dia menganulir kewenangan Allah Taala yang bersifat mutlak dalam menentukan UU dan menjadikannya sebagai hak makhluk. Allah Ta’ala berfirman,
مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآَبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (سورة  يوسف: 40)
“Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) Nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang Nama-nama itu. keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." SQ. Yusuf: 40.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ (سورة الأنعام: 57)
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” SQ. Al-An’am: 57.
Ketiga:
Banyak orang yang mengira bahwa yang dimaksud demokrasi adalah kebebasan. Inilah adalah dugaan salah. Meskipun kebebasan merupakan salah satu produk demmokrasi. Yang kami maksud kebebasan di sini adalah kebebasan berkeyakinan dan kebebasan dekadensi moral, kemerdekaan menyampaikan pendapat. Inipun memiliki kerusakan yang banyak di masyarakat Islam sehingga perkaranya. Bahkan karena kebebasan ini hingga sampai pada derajat menuduh para rasul dan risalahnya, terhadap Alquran dan para shahabat dengan alasan kebebasan pendapat. Kemudian dibolehkannya buka aurat, mengedarkan filem porno dengan dalih kebebasan. Demikian rantai panjang yang memberi andil bagi rusaknya umat, baik dari segi akhlak maupun agama.
Bahkan kebebasan yang sering digembar gemborkan sejumlah Negara tersebut pun tidak bersifat mutlak. Kita akan saksikan bahwa hawa nafsu dan kepentingan akan membatasi kebebasan tersebut. Di saat system mereka membolehkan penistaan terhadap Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan Alquran dengan dalih kebebasan berpendapat, di sisi lain terdapat larangan kebebasan membicarakan sejumlah masalah, seperti membicarakan dusta pembantaian kelompok Nazi terhadap Yahudi! Bahkan siapa saja yang mengingkari pembantaian tersebut akan dikriminalisasi dan dipenjara. Padahal itu hanyalah masalah sejarah yang masih mungkin diingkari.
Jika mereka adalah para penyeru kebebasan, mengapa mereka tidak membiarkan rakyat di negeri-negeri Islam memilih jalan dan agama mereka?! Mereka menjajah Negara-negara kaum muslimin dan berperan merubah agama dan keyakinan mereka? Dimanakah kebebasan dalam peristiwa bangsa Italia terhadap rakyat Libia, dan pembantaian bangsa bangsa Prancis terhadap rakyat Aljazair, pembantaian bangsa Inggris terhadap rakyat Mesir, pembantaian bangsa Amerika terhadap rakyat Afghanistan dan Irak?!
Kebebasan yang diusung para pengusungnya itu sendiri akan berbenturan dengan berbagai perkara yang mengikatnya, di antaranya;
1.      Undang-undang. Manusia tidak memiliki kebebasan mutlak, misalnya dengan berjalan melawan arah di jalan raya. Begitupula dia tidak boleh membuka usaha tanpa izin. Jika dia mengatakan ‘saya bebas’. Tidak ada seorang pun yang mempedulikannya.
2.      Adat kebiasaan. Seorang wanita,  misalnya, tidak dapat pergi ke rumah duka dengan pakaian pantai. Seandainya dia mengatakan ‘saya bebas’ niscaya orang-orang akan melecehkannya dan akan mengusirnya. Karena hal tersebut akan bertentangan dengan adat kebiasaan.
3.      Selera umum. Salah seorang dari mereka tidak dapat, misalnya, mengeluarkan angin di depan khalayak! Bahkan juga tidak dapat sendawa. Orang-orang akan melecehkannya jika dia mengatakan bahwa dirinya bebas.
Maka setelah itu akan kami katakan;
Mengapa agama kita tidak boleh membatasi kebebasan kita, sebagaimana kebebasan mereka dibatasi orang perkara-perkara yang tidak dapat mereka ingkari?! Tidak diragukan lagi, bahwa yang dibawa oleh agama adalah yang terbaik bagi manusia. Agama melarang wanita membuka aurat, manusia dilarang minum minuman keras, dilarang makan babi dan lain sebagainya. Semua itu mengandung kebaikan untuk tubuh mereka, akal mereka, hidup mereka. Namun mereka menolak membatasi kemerdekaan mereka jika perkaranya dari agama, sementara jika perkaranya datang dari manusia seperti mereka atau dari UU, mereka mengatakan kami dengar dan taat.
Keempat:
Sebagian orang mengira bahwa kata ‘demokrasi’ sama maknanya dengan ‘syuro’ dalam ajaran Islam! Ini adalah perkiraan keliru dari berbagai sisi, di antaranya;
1.      Syuro berlaku pada perkara baru dan kontemporer serta pada perkara yang tidak dijelaskan secara rinci dalam Alquran dan Sunah. Adapun ‘hukum rakyat’ dapat mendebatkan perkara prinsip dalam agama, mereka dapat menolak pengharaman yang haram atau mengharamkan apa yang Allah bolehkan atau wajibkan. Khamar menjadi boleh diperjualbelikan dalam UU tersebut, demikian pula halnya dengan zina dan riba. Mereka juga mempersempit ruang kerja dakwah Islam dan para dainya dengan UU tersebut. Ini berentangan dengan syariat. Bagaimana dapat disamakan dengan syuro?!
2.      Majelis Syuro terdiri dari orang yang memiliki kedudukan dalam fiqih, ilmu, pemahaman dan akhlak yang tinggi. Tidak dilibatkan bermusyawarah orang-orang yang melakukan kerusakan dan bodoh, apalagi orang kafir atau atheis. Adapun parlemen demokrasi tidak menjadikan semua itu sebagai pedoman. Wakil rakyat boleh jadi orang kafir, pelaku kerusakan, orang bodoh. Bagaimana dapat disamakan antara hal ini dengan syuro dalam Islam?!
3.      Syuro tidak bersifat mengikat bagi penguasa. Boleh jadi pemerintah memilih salah satu pandangan anggota majelis yang kuat argumennya karena menganggapnya lebih benar dibanding sisa anggota majelis lainnya. Sedangkan dalam parlemen demokrasi, kesepakatan mayoritas akan menjadi UU yang mengikat semua orang.
Jika telah diketahui demikian, maka wajib bagi kaum muslimin merasa mulia dengan agamanya dan percaya bahwa hukum-hukum tuhan mereka bermanfaat bagi dunia dan akhirat mereka, serta berlepas diri dari system yang bertentangan dengan syariat Allah.
Berpegang teguh kepada syariat Allah Ta’ala dalam segala urusannya. Tidak dihalalkan bagi seorang pun untuk menetapkan system dan pedoman yang tidak bersumber dari Islam. Diantara konsekwensi keridhaan mereka kepada Allah sebagai Rabnya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sebagai nabi dan rasulnya adalah agar kaum muslimin berpegang teguh kepada Islam, baik zahir maupun batin dan agar mereka mengagungkan syariat Allah  dan mengikuti sunah Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Kita mohon kepada Allah semoga kita diberi kemuliaan dengan Islam dan diselamatkan dari tipudaya musuh.
Wallahu a’lam.

\













Allah melaknat orang yang menyembunyikan ilmunya
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.(Al-Baqarah : 159-160).
Dan Allah mengancam mereka dengan neraka
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. (Al-baqarah: 174).
Sebagai pengamalan sabda Rasulullah
Artinya : Agama itu adalah nasehat, kami bertanya : Bagi siapa wahai Rasulullah ?Jawab beliau : Bagi Allah, KitabNya, RasulNya, para pemimpin kaum muslimin dan mayarakat umum. (Hadit Riwayat Muslim)
Dan mencermati beragam musibah yang menimpa umat Islam dan pemikiran-pemikiran yang disusupkan oleh komplotan musuh terutama pemikiran impor yang merusak aqidah dan syariat umat, maka wajib bagi setiap orang yang dikarunia ilmu agama oleh Allah agar memberi penjelasan hukum Allah dalam beberapa masalah berikut.
Demokrasi, menurut pencetus dan pengusungnya, demokrasi adalah pemerintahan rakyat (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Rakyat pemegang kekuasaan mutlak. Pemikiran ini bertentangan dengan syariat Islam dan aqidah Islam. Allah berfirman.
Artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir. (Al-Maidah : 44)
Artinya: Dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan. (Al-Kahfi : 26)
Sebab demokrasi merupakan undang-undang thagut, padahal kita diperintahkan agar mengingkarinya, firman-Nya.
Artinya: (Oleh karena itu) barangsiapa yang mengingkari thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul (tali) yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 256).
Demokrasi dan Syura
Oleh karena itu hanya ada dua pilihan, beriman kepada Allah dan berhukum dengan hukum-Nya atau beriman kepada thagut dan berhukum dengan hukumnya. Setiap yang menyelisihi syariat Allah pasti berasal dari thagut.
Adapun orang-orang yang berupaya menggolongkan demokrasi ke dalam sistem syura, pendapatnya tidak bisa diterima, sebab sistem syura itu teruntuk sesuatu hal yang belum ada nash (dalilnya) dan merupakan hak Ahli Halli wal Aqdi yang anggotanya para ulama yang wara’ (bersih dari segala pamrih). Demokrasi sangat berbeda dengan sistem syura seperti telah dijelaskan di muka.
Berserikat
Berserikat merupakan bagian dari demokrasi, serikat ini ada dua macam :
[a] Serikat dalam politik (partai) dan,
[b] Serikat dalam pemikiran.
Maksud serikat pemikiran adalah manusia berada dalam naungan sistem demokrasi, mereka memiliki kebebasan untuk memeluk keyakinan apa saja sekehendaknya. Mereka bebas untuk keluar dari Islam (murtad), beralih agama menjadi Yahudi, Nasrani, atheis (anti tuhan), sosialis atau sekuler. Sejatinya ini adalah kemurtadan yang nyata.
Allah berfirman.
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang yahudi) ; Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. (Muhammad: 25)
Adapun serikat politik (partai politik) maka membuka peluang bagi semua golongan untuk menguasai kaum muslimin dengan cara pemilu tanpa mempedulikan pemikiran dan keyakinan mereka, berarti penyamaan antara muslim dan non muslim.
Hal ini jelas-jelas menyelisihi dali-dalil qath’i (absolut) yang melarang kaum muslimin menyerahkan kepemimpinan kepada selain mereka.
Allah berfirman.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. (An-Nisa: 59)
Artinya : Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Atau adakah kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan ? (Al-Qolam: 35-36)
Karena serikat (bergolong-golongan) itu menyebabkan perpecahan dan perselisihan, lantaran itu mereka pasti mendapat adzab Allah. Allah memfirmankan.
Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (Ali-Imran: 105)
Siapapun yang beranggapan bahwa berserikat ini hanya dalam program saja, bukan dalam sistem atau disamakan dengan perbedaan madzhab fikih diantara ulama, maka realita yang terpampang di hadapan kita membantahnya. Sebab program setiap partai muncul dari pemikiran dan aqidah mereka. Program sosialisme berangkat dari pemikiran dasar sosialisme, sekularisme berangkat dari dasar-dasar demokrasi, begitu seterusnya.  (Radar Banjarmasin, edisi cetak Jumat, 4/4/2014).

Komentar

Postingan Populer